KARYA TULIS ILMIAH
GERIATRIC DEMENSIA
Disusun Oleh :
PINANGGIH BAGUS KURNIAWAN (0530009411)
PROGRAM STUDI DIPLOMA III FISIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEKALONGAN
TAHUN 2015
KATA PENGANTAR
Puji Tuhan yang
menyelaraskan keindahan alam. Shalawat salam tercurah kepada Nabi Muhammad SAW
yang menjadikan dunia ini lebih berkembang.
Ucapan terimakasih kita
ucapkan kepada pihak-pihak yang membantu dalam penyelesaian karya tulis ilmiah
ini :
1.
ProDi
fisioterapi yang telah memberikan saya kesempatan kepada saya untuk membuat
tulisan ini
2.
Kepada pemilik
website yang telah membantu saya dalam penyusunan tulisan ini (website
terlampir pada dafta pustaka )
Adapun kelebihan dalam
tulisan in kami ucapkan terimakasih, semoga dapat menjadi inspirasi dan
tambahan ilmu bagi para pembaca, namun juga saya menyadari bahwa tulisan ini
masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu saya memohon maaf dan meminta agar
memberikan kritik dan saran yang membangun demi terciptanya tulisan yang baik
dan benar.
Pekalongan,
11 Apr. 15
Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar
........................................................................................................... i
Daftar Isi
.................................................................................................................... ii
BAB
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah
.......................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan
........................................................................................... 2
BAB.
II Kajian Pustaka
A. Pengertian Demensia
..................................................................................... 2
B. Penyebab Demensia
...................................................................................... 3
C. Tanda dan Gejala Demensia
......................................................................... 4
D. Pemeriksaan Penunjang ................................................................................ 5
E. Peran Fisioterapi pada Lansia
....................................................................... 6
F. Aspek sosiologi penuaan
............................................................................... 6
G. Pengobatan
.................................................................................................... 10
BAB
III Penutup
A. Kesimpulan
................................................................................................... 15
B. Saran
............................................................................................................. 15
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Semua
manusia suatu saat akan menjadi tua, dan umur merupakan faktor resiko demensia
yang tak terelakan. Perlahan tapi pasti, penderita demensia mengalami penurunan
fungsi otak (meningkat, berpikir logis, berbahasa, membuat keputusan,
berorientasi) dan penurunan kemampuan merawat diri ataupun melakukan aktivitas.
Akibatnya, keseharian penderita demensia mesti dibantu dan didampingi oleh
orang lain. Tapi bukan berarti jika sudah tua nanti, manusia pasti akan
menderita demensia.
Organisasi
kesehatan dunia (WHO) bekerja sama dengan Asosiasi Alzheimer Internasional
(ADI) menerbitkan laporan global pertama tentang demensia. Laporan yang dipublikasikan bulan
April 2012 lalu
itu memperingatkan, kasus
penyakit demensia akan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2050. Dan
menurut Martina WS Nasrun dari Asosiasi Alzheimer Indonesia (AazI), saat ini
jumlah penderita demensia di Indonesia hamper satu juta orang. Sebagian besar
demensia tipe Alzheimer yang gejala dininya berupa pelupa dan kesulitan
visuospasial sering terlewatkan sehingga sulit mengetahui waktu pasti munculnya
penyakit.
Kejadian
demensia bisa terjadi pada setiap usia, namun lebih sering pada usia lanjut
yakni diatas 60 tahun. Pada usia diatas 80 tahun 1 orang diantara 5 mengalami
demensia (kalyanasundaram, 2007). Di Indonesia jumlah lansia tahun 1980 masih 7
juta jiwa, kemudian tahun 1990 naik menjadi 12 juta orang, tahun 2000 naik
menjadi 14 juta jiwa. Tahun 2010,
diperkirakan jumlah lansia mencapai 23 juta jiwa, dan tahun 2020 menjadi
28 juta orang lebih, sehingga jumlah penderita yang terancam demensia akan
terus bertambah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah yang
dimaksud dengan penyakit demensia pada lansia ?
2.
Apakah penyebab
dari penyakit demensia ?
3.
Apa saja tanda
dan gejala dari penyakit demensia ?
4.
Bagaimana cara
untuk mengurangi tanda dan gejala dari penyakit ini agar tidak semakin memburuk
?
C.
Tujuan Penelitian
1.
Sebagai progam
untuk mengedukasi masyarakat tentang penyakit demensia
2.
Mengetahui hal-hal
yang dapat menimbulkan penyakit demensia
3.
Mengetahui hal-hal
yang dapat mengurangi penyakit demensia
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Penyakit
Demensia
Demensia berasal
dari bahasa latin, de yang berarti “
tepisah “, mens yang berarti pikiran.
Demensia adalah penurunan progresif fungsi kognitif-kemampuan untuk memproses
kecerdasan.
Demensia
merupakan suatu keruntuhan kemampuan intelektual yang progresif setelah
mencapai pertumbuhan dan perkembangan tertinggi. Definisi lainnya mengatakan
bahwa demensia merupakan suatu sindroma penurunan progresif kemampuan
intelegensia yang menyebabkan kemunduran kognisi meliputi daya ingat dan pikir
serta fungsional, sehingga mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan
aktivitas harian.
Kejadian
demensia bisa terjadi pada setiap usia, namun lebih sering pada usia lanjut
yakni diatas 60 tahun. Pada usia diatas 80 tahun 1 orang diantara 5 mengalami
demensia (kalyanasundaram, 2007). Di Indonesia jumlah lansia tahun 1980 masih 7
juta jiwa, kemudian tahun 1990 naik menjadi 12 juta orang, tahun 2000 naik
menjadi 14 juta jiwa. Tahun 2010,
diperkirakan jumlah lansia mencapai 23 juta jiwa, dan tahun 2020 menjadi
28 juta orang lebih, sehingga jumlah penderita yang terancam demensia akan
terus bertambah.
Manifestasi dari
demensia dapat bermacam-macam akibat adanya penurunan secara global dari fungsi
kognitif, daya ingat, daya pikir, aphasia, apraxia, agnosia, dan gangguan
fungsi eksekutif. Bentuk penurunan prilaku tersebut secara garis besar dibagi
menjadi:
a.
Penurunan
activity of daily living (ADL), yaitu kemampuan seseorang untuk mengurus
dirinya sendiri dalam kehidupan sehri-hari yaitu mandi, berpakaian, kebersihan
diri, buang air besar/kecil dan
lain-lain.
b.
Perilaku
okupasional, yaitu perilaku yang dilakukan untuk menjalankan kehidupan
sehari-hari untuk bekerja, organisasi, beribadah serta kegiatan lainnya untuk
mengisi waktu luang dan lain-lain.
c.
Partisipasi
sosial, yaitu perilaku untuk berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat seperti
mengurus KTP, ikut kerja bakti, gotong royong, menghadiri undangan dan
lain-lain.
B.
Penyebab
Penyakit Demensia
Demensia
memiliki penyebab yang berbeda-beda, beberapa kondisi sangat sulit dibedakan.
Banyak kondisi medis dapat menyebabkan gejala demensia, terutama pada orang
tua. Penyebab demensia meliputi berbagai penyakit dan infeksi, stroke, cedera
kepala, obat-obatan, metabolik, kekurang
gizi dan lain-lain. Semua demensia mencerminkan disfungsi pada korteks
serebri atau jaringan otak. Beberapa proses kerusakan korteks secara langsung,
sedangkan yang lain mengganggu daerah subkortikal yang biasanya mengatur fungsi
korteks. Bila proses yang mendasari tidak permanen merusak jaringan kortikal,
demensia kadang-kadang dapat dihentikan atau dicegah.
Demensia dapat dikelompokkan
menjadi demensia kortikal atau subkortikal atau demensia reversibel dan
ireversibel. Beberapa penyakit dibawah ini merupakan penyebab demensia yaitu:
1.
Penyakit
Alzheimer: merupakan penyebab paling sering dari demensia, bertanggungjawab
pada sekitar setengah dari semua kasus.
Alzheimer sebagian merupakan penyakit yang diturunkan. Pada penyakit ini,
deposit protein abnormal di otak merusak sel-sel di daerah otak yang berfungsi
mengendalikan memori dan mental. Orang dengan penyakit Alzheimer juga memiliki
neurotransmitter lebih rendah dari orang normal. Penyakit Alzheimer bersifat ireversibel
namun, obat-obatan tertentu bisa memperlambat progresivitas penyakit.
2.
Demensia
Vaskular: merupakan penyebab kedua yang paling sering dari demensia,
bertanggungjawab pada 40% kasus. Sering
disebabkan oleh aterosklerosis pembuluh darah otak dengan akibat gangguan
aliran darah. Karena adanya gangguan aliran darah sehingga demensia jenis ini
kadang-kadang disebut demensia multi-infark. Salah satu subtipe yang asalnya
belum diketahui dengan baik adalah penyakit Binswanger. Demensia vaskular berhubungan
dengan beberapa kondisi seperti dengan tekanan darah tinggi, dislipidemia,
penyakit jantung, diabetes. Dengan memperbaiki faktor risiko tersebut bisa
memperlambat perkembangan demensia vaskular, tetapi fungsi-fungsi tidak kembali
setelah faktor-faktor tersebut dikendalikan.
3.
Penyakit
Parkinson: penderita dengan penyakit ini biasanya memiliki kekakuan anggota
tubuh gangguan berbicara, dan tremor. Demensia dapat berkembang di akhir
perjalanan penyakit, namun tidak semua orang dengan penyakit Parkinson
mengalami demensia. Penalaran, memori, kemampuan berbicara, dan kemampuan
penilaian mungkin akan terpengaruh.
4.
Demensia
Lewy-body: disebabkan oleh endapan mikroskopis protein abnormal, yang disebut
badan Lewy yang merusak sel-sel saraf. Deposit tersebut dapat menyebabkan
gejala khas penyakit Parkinson, seperti tremor dan kekakuan otot, serta
demensia mirip dengan penyakit Alzheimer. demensia Lewy body mempengaruhi
kemampuan berfikir, perhatian, dan konsentrasi lebih banyak daripada memori dan
bahasa. Seperti penyakit Alzheimer, demensia Lewy body bersifat ireversibel dan
tidak bisa disembuhkan. Obat yang dipakai untuk mengobati penyakit Alzheimer
juga memberikan perbaikan pada penyakit ini.
5.
Penyakit
Huntington: merupakan penyakit bawaan menyebabkan kerusakan jenis tertentu dari
sel-sel otak yang mengontrol pergerakan serta pemikiran. Demensia adalah umum
dan terjadi pada tahap akhir penyakit dicirikan dengan perubahan kepribadian
yang khas. Penalaran, memori, kemampuan berbicara, dan pertimbangan mungkin
juga terpengaruh.
6.
Penyakit
Creutzfeldt-Jakob: Penyakit ini jarang terjadi paling sering pada orang dewasa
muda dan usia pertengahan. Adanya infeksi menyerang dan merusak sel-sel otak,
menyebabkan perubahan perilaku dan kehilangan memori. Penyakit tersebut dapat
berkembang cepat dan fatal.
7.
Penyakit Pick
(demensia frontotemporal): adalah kelainan yang jarang dan merusak sel di
bagian frontal otak. Perubahan perilaku dan kepribadian biasanya mendahului
kehilangan memori dan gangguan bahasa.
C.
Tanda dan Gejala
Penyakit demensia
Seiring berjalannya waktu, demensia dapat terus
berkembang semakin berat sehingga memperlihatkan gangguan psikologis maupun
patologis. Gangguan ini dapat berupa:
1.
Gangguan
psikologis yaitu:
a.
Delusi: isi
pikiran yang salah tetapi diyakini kebenarannya
b.
Halusinasi:
misalnya halusinasi dengar, visual, audotorik
c.
Misidentifikasi/mispersepsi:
merasa bukan dirinya, bukan pasangan suami/istrinya
d.
Apatis:
berkurangnya minat terhadap sesuatu yang biasanya disukai, interaksi sosial
berkurang
e.
Cemas:
menanyakan hal yang sama secara berulang-ulang, tidak bias duduk diam
2.
Gangguan prilaku
yaitu:
a.
Wandering:
mondar-mandir, mencari-cari, membuntuti, berjalan mengelilingi rumah
b.
Restlessness:
gelisah sehingga tidak bisa diam.
c.
Aggressiveness:
aktivitas fisik seperti memukul, menendang, mencakar, menggigit, berteriak,
membuat kegaduhan dan sebagainya.
d.
Disinhibisi:
melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan budaya dan norma sosial, hal-hal
yang memalukan dan sebagainya.
Dengan melihat
besarnya variasi kemunduran psikologis maupun perilaku lansia yang mengalami
demensia maka penapisan demensia penting untuk dilakukan melalui beberapa cara
yaitu mini mental state examination (MMSE), clock draw test (CDT), 3 recall
items. Diagnosis ditegakkan dengan menggunakan kriteria diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorder, Fourth Edition (DSM IV).
D.
Pemeriksaan
Penunjang
Pada beberapa
orang tanda-tanda dan gejala demensia mudah dikenali, tetapi evaluasi yang cermat dan menyeluruh
diperlukan untuk mengidentifikasi penyebab yang sebenarnya. Wawancara medis
yang rinci untuk menilai onset, gejala, masalah kesehatan saat ini, riwayat
keluarga, obat-obatan, pekerjaan, perjalanan penyakit, kebiasaan, gaya hidup
dan sebagainya. Pemeriksaan fisik secara menyeluruh akan mencari bukti penyakit
dan disfungsi yang mungkin menjelaskan penyebabnya.
Tes darah rutin
termasuk darah lengkap, kimia darah, tes fungsi hati, fungsi ginjal, tes fungsi
tiroid, dan tingkat vitamin B (terutama asam folat dan Vitamin B-12) dapat
dikerjakan. Tes darah lainnya (misalnya, sifilis dan tes HIV, obat-obatan,
analisa gas darah arteri, tes hormon tertentu, atau pengukuran logam berat)
digunakan hanya ketika seseorang beresiko tinggi untuk kondisi tersebut.
Urinalisis mungkin diperlukan untuk menilai kelainan darah lebih lanjut, untuk
mendeteksi obat-obatan tertentu, atau untuk menyingkirkan gangguan ginjal.
Pemeriksaan cairan serebrospinal mungkin diperlukan untuk menyingkirkan infeksi
intraserebral, tumor otak, dan hidrosefalus dengan tekanan tinggi. Dalam
beberapa kasus, pencitraan otak mungkin diperlukan untuk mendeteksi kondisi
seperti hidrosefalus, tumor intraserebral, infark atau perdarahan.
Single-photon emisi CT (SPECT) mendeteksi aliran darah di otak dan digunakan di
beberapa pusat medis untuk membedakan penyakit Alzheimer dari demensia
vaskular. Elektroensefalografi (EEG) merupakan rekaman aktivitas listrik di
berbagai bagian otak mungkin membantu mendiagnosis gangguan lainnya. Evaluasi
status mental dengan beberapa instrument yang terstandarisasi merupakan
keharusan dalam menegakkan diagnosis demensia.
E.
Peran Fisioterapi
pada Demensia
Sebagai seorang
fisioterapi ita harus mengerti diagnosa fisioerapi dari pada demensia ini.
Ketika kita
sudah mengerti dan memahami diagnosa fisioterapi kita dapat memberikan
intervensi dengan ukuran yang pas.
Contoh bahwa
seorang penderita demensia akann mengalami gangguan fikiran jangka pendek. Maka
sebagai seorang fisioterapis kita dapat mengajaknya ngobrol dengan tujuan
terapi. Contohnya “ Siapa nama anak bapak
yang pertama “, ’’ Dimana bapak
Tinggal “ dll. Intinya jawaban dari pertanyaan harus seputar hal-hal yang
dapat membuat fikiran pasien berjalan.
F.
Aspek Sosiologi
dan antropologi Penuaan
Masalah
sosiologis dan biologis pada penuaan walaupun saling terkait satu sama lain
sesungguhnya sangat berbeda. Aspek biologis menekankan pada fenomena anatomi
dan fisiologis yang terjadi melalui instrument yang terstandar sedangkan aspek
sosial lebih menitikberatkan hubungan antara penuaan dengan lingkungan
sosiokultural yang tidak secara langsung bisa diukur. Tidak seperti halnya
sistem biologis, sistem sosial tidak dibentuk oleh reaksi biologis dan genetik
namun, melalui suatu pola kebiasaan yang di dapat dan berkembang dalam
interaksi sosial yang meliputi suatu sistem dan nilai-nilai kultural yang
membentuk suatu kelompok dan struktur tersebut tidak akan pernah mengalami
penuaan dan kematian. Sebuah sistem sosial adalah suatu “cetak biru” dari suatu
fungsi interpersonal yang terjadi pada masa lampau, sekarang, dan mungkin bisa
diprediksi pada masa akan datang.
Masalah penuaan secara sosial
meliputi beberapa hal diantaranya bertambahnya usia serta transisi dari
produktivitas kearah nonproduktivitas beserta kehilangan peranan dan status
yang melekat padanya. Peranan dibentuk oleh kapasitas seseorang untuk melakukan
fungsi yang diperlukan sedangkan status muncul sebagai evaluasi yang diberikan
suatu kelompok terhadap peran yang dilaksanakan. Dalam masyarakat kedua hal ini
saling melengkapi satu sama lainnya, sehingga ketika peranan tidak lagi
dilaksanakan maka status secara otomatis cenderung akan menurun.
Sering terjadi diskriminasi pada
usia lanjut yang bervariasi mulai dari pembatasan kebiasaan, finansial,
penolakan sampai penyiksaan secara fisik. Keadaan sosial ekonomi masih
merupakan masalah pada lansia termasuk di Indonesia dimana sebagian besar
lansia masih bergantung pada keluarga dan orang lain sehingga lansia yang
terlantar terutama di pedesaan masih cukup besar. Beberapa bentuk stigmatisasi
atau diskriminasi misalnya dalam interaksi sosial dan interpersonal contohnya
(Stuckelgerger, 2007):
a.
Infantilisasi,
menganggap dan berbicara dengan orang tua seperti anak kecil
b.
Menilai
seseorang dari segi nilai ekonomi semata dengan anggapan usia lanjut tidak
memiliki nilai ekonomi yang memadai akibat menurunnya produktivitas
c.
Ketakutan akan
kematian dan penyakit sehingga terjadi penolakan akan eksistensinya sendiri.
d.
Menua identik
dengan penyakit, ketergantungan dan keterbatasan
e.
Pada usia tua
sudah terlambat untuk melakukan sesuatu
f.
Orang tua tidak
bisa belajar sesuatu
g.
Orang tua tidak
bisa menjalankan kehidupannya sendiri, tidak produktif dan menjadi beban
masyarakat
h.
Rahasia penuaan
sepenuhnya ada dalam genetika, tetapi penelitian menunjukkan bahwa pengalaman
hidup dan budaya memiliki peranan yang sangat besar.
Hal yang cukup
menjadikan proses menua akan memicu gangguan penyesuaian, perilaku bahkan
psikologis adalah fakta bahwa tidak jarang adanya penolakan atas peranan dan
status seseorang dimana orang yang telah mengalami penuaan masih merasa mampu
memberikan kontribusi secara normal, akan tetapi perubahan fisiologis dan
anatomis menyebabkan perubahan perubahan dalam peran sosial menjadi tak
terhindarkan. Hal ini lebih umum di negara barat, sedangkan di Indonesia
keadaan psikososial umumnya masih lebih
baik dimana penghargaan terhadap orang tua dalam kultur ketimuran masih
mendapat tempat. Kedudukan dan peranan
lansia dalam keluarga dan masyarakat timur yang umumnya masih dianggap
sebagai orang yang harus dihormati dan dihargai menjadikan lansia secara
psikologis lebih sehat secara mental. Perasaan diterima oleh orang lain akan
mempengaruhi tanggapan mereka dalam memasuki hari tua, dan berpengaruh pula
kepada derajat kesehatan lansia. Berbeda halnya jika lansia dianggap sebagai
seseorang yang tidak diinginkan dalam masyarakat. Pada masyarakat tradisional
yang umumnya terdiri dari keluarga besar dengan adat istiadat yang kuat,
memasuki usia lanjut tidak perlu dirisaukan. Anak masih merasa berkewajiban dan
mempunyai loyalitas untuk menjaga orang tua yang tidak lagi produktif.
Pergeseran nilai
yang terjadi memang tidak bias dipungkiri dimana pada masyarakat modern,
keberadaan orang tua dalam keluarga anak dapat menganggu kehidupan ekonomi
keluarga anak, kasih sayang yang terbagi, dan mungkin masalah kepengurusan
rumah tangga karena turut campurnya orang tua dalam urusan keluarga anak.
Kecenderungan masyarakat modern saat ini membentuk keluarga inti membawa
masalah terhadap jaminan ekonomi dan kesehatan lansia.
Penelitian Edi
Indrizal (2005) mengenai orang lansia di Minangkabau, menunjukkan bahwa dalam
tatanan ideal masyarakat matrilineal Minangkabau, hubungan struktur keluarga,
ikatan solidaritas sosial, dan tradisi merantau kesemuanya fungsional sebagai
jaminan sosial bagi orang lansia sehingga orang lansia tidak boleh hidup
tersia-sia di hari tuanya, maka hal itu dapat menjadi aib bagi keluarga,
kerabat atau bahkan orang sekitar. Namun dalam kondisi yang berubah dalam
masyarakat Minangkabau kotemporer, diantaranya perubahan struktur keluarga luas
ke keluarga inti, pola menetap neolokal, membawa konsekuensi perubahan fungsi
struktur keluarga dan hubungan sosial dalam masyarakat Minangkabau.
Perubahan-perubahan fungsi struktur keluarga membawa implikasi terhadap
kehidupan orang lansia. Orang lansia tanpa anak memperoleh masalah tersendiri
di dalam masyarakat dan tampaknya masalah sosial lebih dominan dibandingkan
masalah menurunnya kondisi fisik akibat usia yang bertambah tua.
Ketidaksiapan
dalam menerima perubahan peran dan status merupakan masalah lain dalam diri
setiap lansia dan perlu mendapatkan perhatian yang cukup. Beberapa hal yang
harus dilakukan dalam menyikapi perubahan peranan dan status ini masih harus
memerlukan penelitian berkesinambungan dan harus meliputi:
1.
Memberikan peranan
sesuai dengan kemampuan dan mempertimbangkan disabilitas yang ada.
2.
Adanya suatu
prosedur berkelompok untuk membantu para lansia dalam proses transisi.
Pemahaman yang realistik akan fungsi sosial terhadap peran yang baru harus
dibangun, dan para lansia harus memiliki kesempatan untuk mengidentifikasi
dirinya dalam peranan ini melalui suatu kontak individu, praktek imajinasi atau
drama serta partsipasi nyata.
3.
Hal yang sulit
adalah transevaluasi sistem yang ada dalam budaya masing-masing sehingga peran
dan status baru yang dimiliki para
lansia biasa tetap dihargai.
G.
Pengobatan
1.
MedikaMentosa
Terapi obat-obatan diberikan untuk mengatasi faktor
penyebab dan mencegah atau memperlambat perkembangan demensia. Pada kasus
demensia lanjut, terapi obat-obatan tidak untuk mengobati penyebab melainkan
ditujukan untuk meminimalkan gejala psikologis dan gangguan prilaku yang
terjadi. Beberapa obat-obatan dapat digolongkan menjadi:
a.
Neurotropika:
pyritinol, piracetam, sabeluzole
b.
Ca-antagonis:
nimodipine, citicholine, cinnarizine, pentoxiphiline, pantoyl GABA
c.
Acethylcholinesterase
inhibitor: tacrine, donopezil, galantamine, rivastigmin, memantine
Obat-obat
lain dapat diberikan sesuai dengan gejala akibat gangguan psikologis dan
perilaku seperti:
a. Antipsikotik tipikal: haloperidol
b. Antipsikotik atipikal: clozapine,
risperidone, olanzapine, quetiapine
c. Anxiolitik: clobazam, lorazepam,
buspirone, trazodone dan sebagainya.
d. Antidepresan: amitriptilin, tofranil,
asendin, SSRI.
e. Mood stabilizer: carbamazepine,
divalproex, neurontin dan sebagainya
2.
Non
Medikamentosa
Intervensi nonfarmakologis harus dilakukan secara
holistic meliputi lingkungan, psikologis, kemampuan bahasa dan lain-lain.
Intervensi psikologis dapat berupa psikoterapi untuk mengurangi kecemasan,
memberikan rasa aman dan ketenangan baik dalam bentuk psikoterapi individual,
kelompok maupun keluarga. Lingkungan tempat tinggal juga perlu mendapat
perhatian agar memberikan cukup kenyamanan serta keamanan bagi penderita. Warna, bentuk, bahan, fasilitas seyogyanya
disesuaikan untuk mendukung program yang akan dilaksankan. Pendekatan lain
meliputi adat, budaya, keagamaan, pengembangan kesukaan/ hobi juga biasa
dilakukan untuk memaksimalkan potensi yang ada pada penderita sekaligus
memberikan keselarasan dengan sisitem sosial yang ada. Untuk caregiver
diperlukan dukungan mental, pengembangan kemampuan adaptasi, peningkatan
kemandirian dan kemampuan menerima
kenyataan.
Meskipun seorang individu dengan demensia harus
selalu berada di bawah perawatan medis, anggota keluarga idealnya menangani
sebagian besar perawatan sehari-hari. Perawatan medis harus fokus pada
mengoptimalkan kesehatan individu dan kualitas hidup sementara anggota keluarga
membantu mengatasi dengan banyak tantangan untuk merawat anggota keluarga
dengan demensia. Perawatan medis tergantung pada kondisi yang mendasari, tapi
paling sering terdiri dari obat-obatan dan perawatan nonmedikamentosa seperti
terapi perilaku. Penghilangan stigma dan diskriminasi secara sosial terutama
pada daerah-daerah yang lebih cenderung materialistik menjadi penting untuk
memberikan kenyamanan secara psikologis bagi lansia. International Labour
Organization serta WHO menganjurkan pemerintah untuk memasukkan beberapa
prinsip dalam program nasional, diantaranya:
A.
Kebebasan
1.
Para lansia
harus mendapatkan akses yang baik terhadap makanan, air, perlindungan, pakaian,
serta kesehatan melalui ketersediaan pendapatan, dukungan keluarga dan
masyarakat serta kemandirian.
2.
Para lansia
harus memiliki kesempatan untuk bekerja atau memiliki akses pada kesempatan
yang memungkinkan mereka mendapatkan sumber pendapatan
3.
Lansia harus
dapat berpartisipasi dalam memutuskan kapan dan bagaimana akan meninggalkan
pekerjaannya
4.
Para lansia
harus mendapatkan akses untuk pendidikan dan program-program pelatihan
5.
Para lansia
harus mendapatkan kesempatan untuk hidup dalam lingkungan yang aman dan bisa
menyesuaikan dengan perubahan kapasitasnya
6.
Lansia harus
bisa tetap tinggal dirumah selama mungkin
B.
Partisipasi
1.
Para lansia
harus tetap tergabung dalam masyarakat, berpartisipasi secara aktif dalam
formulasi dan implementasi kebijaksanaan yang secara langsung mempengaruhi
kesejahteraannya dan membagikan pengetahuan dan ketrampilan mereka dengan
generasi berikutnya.
2.
Lansia harus mampu
mencari dan mencari kesempatan untuk melayani masyarakat sebagai sukarelawan
sesuai dengan kemampuannya.
3.
Para lansia
harus selalu dalam kerjasama dengan lansia lainnya.
C.
Perhatian
1.
Para lansia
harus mendapatlkan keuntungan dari keluarga dan masyarakat serta pelindungan
selaras dengan setiap sistem sosial dari nilai-nilai budaya.
2.
Para lansia
harus memiliki akses pada pelayanan kesehatan untuk membantu mereka menjaga
atau mengembalikan tingkat kesejahteraan fisik, mental, dan emosional serta
untuk mencegah keterlambatan penyakit.
3.
Lansia harus
memiliki akses pada pelayanan sosial dan hukum untuk meningkatkan otonomi,
perlindungan dan perhatian.
4.
Lansia harus
mampu menggunakan ketersediaan institusi perlindungannya dengan baik untuk
memberikan perlindungan, rehabilitasi, stimulasi sosial dan mental dalam
lingkungan yang aman.
5.
Lansia harus
mampu menikmati hak asasi manusia dan kebebasan ketika tinggal di tempat
manapun, fasilitas pengobatan, termasuk penghormatan akan martabatnya,
keyakinan, kebutuhan, dan privasi serta hak untuk membuat keputusan untuk
kehidupan dan kualitas hidupnya.
D.
Pemenuhan diri
1.
Lansia harus
mampu mencari kesempatan untuk pembangunan sepenuhnya potensi diri mereka.
2.
Lansia harus
memiliki akses akan sumber pendidikan, budaya, spiritual, dan rekreasional di
masyarakat.
E.
Martabat
1.
Lansia harus
mampu hidup dalam lingkungan yang aman dan bermartabat dan bebas dari
eksploitasi fisik maupun mental.
2.
Lansia harus
diperlakukan dengan baik tanpa melihat umur, jenis kelamin, ras atau latar
belakang etnik, disabilitas atau status yang lain dan di hargai secara bebas
akan kontribusi ekonomis mereka.
3.
Para lansia yang
mengalami demensia selayaknya mendapat penghargaan yang baik tanpa memandang
usia serta sejauh mana gangguan yang ada dan bahwasanya setiap orang adalah
unik, memiliki kepribadian tersendiri sehingga pendekatan masing-masing haruslah
disesuaikan. Beberapa kunci pokok dalam penanganan secara holistik yang dapat
dilaksanakan antara lain (NICE, 2004):
a.
Tanpa
diskriminasi
Para
penderita demensia tidak boleh dikecualikan dari semua pelayanan semata-mata
karena diagnosis, usia atau gangguan yang ada.
b.
Penjelasan yang
tepat
Para
penyedia layanan kesehatan harus selalu memberikan penjelasan dengn baik kepada
para penderita. Mereka harus mendapatkan informasi dengan baik, dipastikan
bahwa mereka dapat mengerti dan apabila terdapat gangguan dalam pemahaman maka
bias menggunakan alat bantu Mental Capacity Act 2005.
c.
Carers/ penjaga
yang membantu dalam kegiatan sehari hari
Para
penyedia layanan kesehatan harus dipastikan mendapatkan hak untuk mendapatkan
penilaian atas apa yang dibutuhkan dan apabila mengalami stress psikologis,
mereka harus mendapatkan terapi psikologi termasuk cognitive behavioural
therapy dari ahlinya.
d.
Koordinasi dan
integrasi layanan kesehatan dan sosial
Penyedia
layanan keehatan dan sosial harus berkoordinasi dalam bekerja melalui suatu
prosedur tertulis. Rencana dan strategi harus memasukkan sistem lokal serta
pendekatan budaya lokal yang bersifat spesifik mengingat kultur, penilaian,
penghargaan serta peranan setiap lansia dalam masyarakat tidaklah sama dalam
setiap system budaya.
e.
Penilaian memori
Penilaian
memori harus dilakukan dan merupakan titik dimana rujukan dan penanganan yang
komperhensif harus dilakukan pada seseorang yang dicurigai menderita demensia.
f.
Alat bantu diagnosis
selain
alat bantu terstandar untuk menilai status kognitif, alat bantu untuk menilai
gangguan struktur lain terutama pada otak juga harus ada.
g.
Gangguan
perilaku
Faktor
pencetus terjadinya gangguan prilaku harus diidentifikasi dan penanganan harus
disesuaikan. Terapi kognitif dan perilaku bisa diberikan dengan pendekatan
individu bersamaan dengan terapi medikamentosa.
h.
Pelatihan
Para
penyedia layanan harus dipastikan mendapat pelatihan yang sesuai sesuai dengan
peranan dan tangung jawab masing-masing.
i.
Kebutuhan
kesehatan mental pada kondisi “acute hospitals”
Dalam keadaan
tertentu dimana diperlukan penanganan perawatan rumah sakit, fasilitas untuk
itu harus tersedia sesuai dengan kebutuhan medis, sosial dan mental penderita.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Penatalaksanaan
demensia pada usia lanjut harus meliputi beberapa komponen baik medikamentosa
dan nonmedikamentosa dan dilakukan secara holistik, saling terkait, sistematis
dan melibatkan banyak pihak. Pendekatan budaya lokal harus dilakukan dan
penderita harus diperlakukan secara individual sesuai dengan kapasitas,
kondisi, penyakit komorbid, kebiasaan serta gangguan yang ada untuk
memaksimalkan pelayanan yang diberikan. Konsep biopsikososiospiritual harus
diterapkan secara integratif karena keseluruhan aspek merupakan faktor yang
sangat terkait dan mempengaruhi satu sama lain.
B. Saran
Kepada seluruh
individu diharapkan dapat menjaga gaya hidupnya kearah yang positif, hal ini
dikarenakan agar dapat mencegah penyakit demensia ini menyerang kehidupan kita
dimasa tua. Ya walaupun sebenarnya demensia ini adalah proses yang wajar, namun
jika kita dapat mencegahnya dari masa muda insyaallah akan terminimalisir.
Daftar Pustaka
1.
http://www.asgar.or.id/kesehatan-health/berita-kesehatan/penyebab-gejala-pengobatan-dan-prevalensi-demensia/
(Jum’at 10 April 2015 pkl 14.15 WIB )
( Jum’at 10 April 2015 pkl 14.30 WIB )