Jumat, 10 April 2015

Penyakit Demensia

KARYA TULIS ILMIAH
GERIATRIC DEMENSIA


Disusun Oleh :
PINANGGIH BAGUS KURNIAWAN (0530009411)


PROGRAM STUDI DIPLOMA III FISIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEKALONGAN
TAHUN 2015



KATA PENGANTAR

Puji Tuhan yang menyelaraskan keindahan alam. Shalawat salam tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadikan dunia ini lebih berkembang.
Ucapan terimakasih kita ucapkan kepada pihak-pihak yang membantu dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini :
1.      ProDi fisioterapi yang telah memberikan saya kesempatan kepada saya untuk membuat tulisan ini
2.      Kepada pemilik website yang telah membantu saya dalam penyusunan tulisan ini (website terlampir pada dafta pustaka )

Adapun kelebihan dalam tulisan in kami ucapkan terimakasih, semoga dapat menjadi inspirasi dan tambahan ilmu bagi para pembaca, namun juga saya menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu saya memohon maaf dan meminta agar memberikan kritik dan saran yang membangun demi terciptanya tulisan yang baik dan benar.


                                                                                                            Pekalongan, 11 Apr. 15
                                                                                                                        Penulis



Daftar Isi


Kata Pengantar ...........................................................................................................           i
Daftar Isi ....................................................................................................................            ii
BAB I. Pendahuluan
A.    Latar Belakang ...............................................................................................            1
B.     Rumusan Masalah ..........................................................................................            1
C.     Tujuan Penulisan ...........................................................................................             2
BAB. II Kajian Pustaka
A.    Pengertian Demensia .....................................................................................            2
B.     Penyebab Demensia ......................................................................................             3
C.     Tanda dan Gejala Demensia .........................................................................             4
D.    Pemeriksaan Penunjang ................................................................................             5
E.     Peran Fisioterapi pada Lansia .......................................................................             6
F.      Aspek sosiologi penuaan ...............................................................................             6
G.    Pengobatan ....................................................................................................                        10
BAB III Penutup
A.    Kesimpulan ...................................................................................................             15
B.     Saran .............................................................................................................             15



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Semua manusia suatu saat akan menjadi tua, dan umur merupakan faktor resiko demensia yang tak terelakan. Perlahan tapi pasti, penderita demensia mengalami penurunan fungsi otak (meningkat, berpikir logis, berbahasa, membuat keputusan, berorientasi) dan penurunan kemampuan merawat diri ataupun melakukan aktivitas. Akibatnya, keseharian penderita demensia mesti dibantu dan didampingi oleh orang lain. Tapi bukan berarti jika sudah tua nanti, manusia pasti akan menderita demensia.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) bekerja sama dengan Asosiasi Alzheimer Internasional (ADI) menerbitkan laporan global pertama tentang demensia. Laporan yang  dipublikasikan  bulan  April  2012  lalu  itu  memperingatkan,  kasus  penyakit demensia akan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2050. Dan menurut Martina WS Nasrun dari Asosiasi Alzheimer Indonesia (AazI), saat ini jumlah penderita demensia di Indonesia hamper satu juta orang. Sebagian besar demensia tipe Alzheimer yang gejala dininya berupa pelupa dan kesulitan visuospasial sering terlewatkan sehingga sulit mengetahui waktu pasti munculnya penyakit.
Kejadian demensia bisa terjadi pada setiap usia, namun lebih sering pada usia lanjut yakni diatas 60 tahun. Pada usia diatas 80 tahun 1 orang diantara 5 mengalami demensia (kalyanasundaram, 2007). Di Indonesia jumlah lansia tahun 1980 masih 7 juta jiwa, kemudian tahun 1990 naik menjadi 12 juta orang, tahun 2000 naik menjadi 14 juta jiwa. Tahun 2010,  diperkirakan jumlah lansia mencapai 23 juta jiwa, dan tahun 2020 menjadi 28 juta orang lebih, sehingga jumlah penderita yang terancam demensia akan terus bertambah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan penyakit demensia pada lansia ?
2.      Apakah penyebab dari penyakit demensia ?
3.      Apa saja tanda dan gejala dari penyakit demensia ?
4.      Bagaimana cara untuk mengurangi tanda dan gejala dari penyakit ini agar tidak semakin memburuk ?


C.    Tujuan Penelitian
1.      Sebagai progam untuk mengedukasi masyarakat tentang penyakit demensia
2.      Mengetahui hal-hal yang dapat menimbulkan penyakit demensia
3.      Mengetahui hal-hal yang dapat mengurangi penyakit demensia


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.    Penyakit Demensia
Demensia berasal dari bahasa latin, de yang berarti “ tepisah “, mens yang berarti pikiran. Demensia adalah penurunan progresif fungsi kognitif-kemampuan untuk memproses kecerdasan.
Demensia merupakan suatu keruntuhan kemampuan intelektual yang progresif setelah mencapai pertumbuhan dan perkembangan tertinggi. Definisi lainnya mengatakan bahwa demensia merupakan suatu sindroma penurunan progresif kemampuan intelegensia yang menyebabkan kemunduran kognisi meliputi daya ingat dan pikir serta fungsional, sehingga mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas harian.
Kejadian demensia bisa terjadi pada setiap usia, namun lebih sering pada usia lanjut yakni diatas 60 tahun. Pada usia diatas 80 tahun 1 orang diantara 5 mengalami demensia (kalyanasundaram, 2007). Di Indonesia jumlah lansia tahun 1980 masih 7 juta jiwa, kemudian tahun 1990 naik menjadi 12 juta orang, tahun 2000 naik menjadi 14 juta jiwa. Tahun 2010,  diperkirakan jumlah lansia mencapai 23 juta jiwa, dan tahun 2020 menjadi 28 juta orang lebih, sehingga jumlah penderita yang terancam demensia akan terus bertambah.
Manifestasi dari demensia dapat bermacam-macam akibat adanya penurunan secara global dari fungsi kognitif, daya ingat, daya pikir, aphasia, apraxia, agnosia, dan gangguan fungsi eksekutif. Bentuk penurunan prilaku tersebut secara garis besar dibagi menjadi:
a.       Penurunan activity of daily living (ADL), yaitu kemampuan seseorang untuk mengurus dirinya sendiri dalam kehidupan sehri-hari yaitu mandi, berpakaian, kebersihan diri, buang air besar/kecil  dan lain-lain.
b.      Perilaku okupasional, yaitu perilaku yang dilakukan untuk menjalankan kehidupan sehari-hari untuk bekerja, organisasi, beribadah serta kegiatan lainnya untuk mengisi waktu luang dan lain-lain.
c.       Partisipasi sosial, yaitu perilaku untuk berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat seperti mengurus KTP, ikut kerja bakti, gotong royong, menghadiri undangan dan lain-lain.
B.     Penyebab Penyakit Demensia
Demensia memiliki penyebab yang berbeda-beda, beberapa kondisi sangat sulit dibedakan. Banyak kondisi medis dapat menyebabkan gejala demensia, terutama pada orang tua. Penyebab demensia meliputi berbagai penyakit dan infeksi, stroke, cedera kepala, obat-obatan, metabolik, kekurang  gizi dan lain-lain. Semua demensia mencerminkan disfungsi pada korteks serebri atau jaringan otak. Beberapa proses kerusakan korteks secara langsung, sedangkan yang lain mengganggu daerah subkortikal yang biasanya mengatur fungsi korteks. Bila proses yang mendasari tidak permanen merusak jaringan kortikal, demensia kadang-kadang dapat dihentikan atau dicegah.
            Demensia dapat dikelompokkan menjadi demensia kortikal atau subkortikal atau demensia reversibel dan ireversibel. Beberapa penyakit dibawah ini merupakan penyebab demensia yaitu:
1.      Penyakit Alzheimer: merupakan penyebab paling sering dari demensia, bertanggungjawab pada  sekitar setengah dari semua kasus. Alzheimer sebagian merupakan penyakit yang diturunkan. Pada penyakit ini, deposit protein abnormal di otak merusak sel-sel di daerah otak yang berfungsi mengendalikan memori dan mental. Orang dengan penyakit Alzheimer juga memiliki neurotransmitter lebih rendah dari orang normal. Penyakit Alzheimer bersifat ireversibel namun, obat-obatan tertentu bisa memperlambat progresivitas penyakit.
2.      Demensia Vaskular: merupakan penyebab kedua yang paling sering dari demensia, bertanggungjawab pada  40% kasus. Sering disebabkan oleh aterosklerosis pembuluh darah otak dengan akibat gangguan aliran darah. Karena adanya gangguan aliran darah sehingga demensia jenis ini kadang-kadang disebut demensia multi-infark. Salah satu subtipe yang asalnya belum diketahui dengan baik adalah penyakit Binswanger. Demensia vaskular berhubungan dengan beberapa kondisi seperti dengan tekanan darah tinggi, dislipidemia, penyakit jantung, diabetes. Dengan memperbaiki faktor risiko tersebut bisa memperlambat perkembangan demensia vaskular, tetapi fungsi-fungsi tidak kembali setelah faktor-faktor tersebut dikendalikan. 
3.      Penyakit Parkinson: penderita dengan penyakit ini biasanya memiliki kekakuan anggota tubuh gangguan berbicara, dan tremor. Demensia dapat berkembang di akhir perjalanan penyakit, namun tidak semua orang dengan penyakit Parkinson mengalami demensia. Penalaran, memori, kemampuan berbicara, dan kemampuan penilaian mungkin akan terpengaruh.
4.      Demensia Lewy-body: disebabkan oleh endapan mikroskopis protein abnormal, yang disebut badan Lewy yang merusak sel-sel saraf. Deposit tersebut dapat menyebabkan gejala khas penyakit Parkinson, seperti tremor dan kekakuan otot, serta demensia mirip dengan penyakit Alzheimer. demensia Lewy body mempengaruhi kemampuan berfikir, perhatian, dan konsentrasi lebih banyak daripada memori dan bahasa. Seperti penyakit Alzheimer, demensia Lewy body bersifat ireversibel dan tidak bisa disembuhkan. Obat yang dipakai untuk mengobati penyakit Alzheimer juga memberikan perbaikan pada penyakit ini.
5.      Penyakit Huntington: merupakan penyakit bawaan menyebabkan kerusakan jenis tertentu dari sel-sel otak yang mengontrol pergerakan serta pemikiran. Demensia adalah umum dan terjadi pada tahap akhir penyakit dicirikan dengan perubahan kepribadian yang khas. Penalaran, memori, kemampuan berbicara, dan pertimbangan mungkin juga terpengaruh.
6.      Penyakit Creutzfeldt-Jakob: Penyakit ini jarang terjadi paling sering pada orang dewasa muda dan usia pertengahan. Adanya infeksi menyerang dan merusak sel-sel otak, menyebabkan perubahan perilaku dan kehilangan memori. Penyakit tersebut dapat berkembang cepat dan fatal.
7.      Penyakit Pick (demensia frontotemporal): adalah kelainan yang jarang dan merusak sel di bagian frontal otak. Perubahan perilaku dan kepribadian biasanya mendahului kehilangan memori dan gangguan bahasa.


C.     Tanda dan Gejala Penyakit demensia
Seiring berjalannya waktu, demensia dapat terus berkembang semakin berat sehingga memperlihatkan gangguan psikologis maupun patologis. Gangguan ini dapat berupa:
1.      Gangguan psikologis yaitu:
a.       Delusi: isi pikiran yang salah tetapi diyakini kebenarannya
b.      Halusinasi: misalnya halusinasi dengar, visual, audotorik
c.       Misidentifikasi/mispersepsi: merasa bukan dirinya, bukan pasangan suami/istrinya
d.      Apatis: berkurangnya minat terhadap sesuatu yang biasanya disukai, interaksi sosial berkurang
e.       Cemas: menanyakan hal yang sama secara berulang-ulang, tidak bias duduk diam

2.      Gangguan prilaku yaitu:
a.       Wandering: mondar-mandir, mencari-cari, membuntuti, berjalan mengelilingi rumah
b.      Restlessness: gelisah sehingga tidak bisa diam.
c.       Aggressiveness: aktivitas fisik seperti memukul, menendang, mencakar, menggigit, berteriak, membuat kegaduhan dan sebagainya.
d.      Disinhibisi: melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan budaya dan norma sosial, hal-hal yang memalukan dan sebagainya.
Dengan melihat besarnya variasi kemunduran psikologis maupun perilaku lansia yang mengalami demensia maka penapisan demensia penting untuk dilakukan melalui beberapa cara yaitu mini mental state examination (MMSE), clock draw test (CDT), 3 recall items. Diagnosis ditegakkan dengan menggunakan kriteria diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fourth Edition (DSM IV).

D.    Pemeriksaan Penunjang

Pada beberapa orang tanda-tanda dan gejala demensia mudah dikenali, tetapi  evaluasi yang cermat dan menyeluruh diperlukan untuk mengidentifikasi penyebab yang sebenarnya. Wawancara medis yang rinci untuk menilai onset, gejala, masalah kesehatan saat ini, riwayat keluarga, obat-obatan, pekerjaan, perjalanan penyakit, kebiasaan, gaya hidup dan sebagainya. Pemeriksaan fisik secara menyeluruh akan mencari bukti penyakit dan disfungsi yang mungkin menjelaskan penyebabnya.
Tes darah rutin termasuk darah lengkap, kimia darah, tes fungsi hati, fungsi ginjal, tes fungsi tiroid, dan tingkat vitamin B (terutama asam folat dan Vitamin B-12) dapat dikerjakan. Tes darah lainnya (misalnya, sifilis dan tes HIV, obat-obatan, analisa gas darah arteri, tes hormon tertentu, atau pengukuran logam berat) digunakan hanya ketika seseorang beresiko tinggi untuk kondisi tersebut. Urinalisis mungkin diperlukan untuk menilai kelainan darah lebih lanjut, untuk mendeteksi obat-obatan tertentu, atau untuk menyingkirkan gangguan ginjal. Pemeriksaan cairan serebrospinal mungkin diperlukan untuk menyingkirkan infeksi intraserebral, tumor otak, dan hidrosefalus dengan tekanan tinggi. Dalam beberapa kasus, pencitraan otak mungkin diperlukan untuk mendeteksi kondisi seperti hidrosefalus, tumor intraserebral, infark atau perdarahan. Single-photon emisi CT (SPECT) mendeteksi aliran darah di otak dan digunakan di beberapa pusat medis untuk membedakan penyakit Alzheimer dari demensia vaskular. Elektroensefalografi (EEG) merupakan rekaman aktivitas listrik di berbagai bagian otak mungkin membantu mendiagnosis gangguan lainnya. Evaluasi status mental dengan beberapa instrument yang terstandarisasi merupakan keharusan dalam menegakkan diagnosis demensia.
E.     Peran Fisioterapi pada Demensia
Sebagai seorang fisioterapi ita harus mengerti diagnosa fisioerapi dari pada demensia ini.
Ketika kita sudah mengerti dan memahami diagnosa fisioterapi kita dapat memberikan intervensi dengan ukuran yang pas.
Contoh bahwa seorang penderita demensia akann mengalami gangguan fikiran jangka pendek. Maka sebagai seorang fisioterapis kita dapat mengajaknya ngobrol dengan tujuan terapi. Contohnya “ Siapa nama anak bapak yang pertama “, ’’ Dimana bapak Tinggal “ dll. Intinya jawaban dari pertanyaan harus seputar hal-hal yang dapat membuat fikiran pasien berjalan.


F.        Aspek Sosiologi dan antropologi Penuaan
Masalah sosiologis dan biologis pada penuaan walaupun saling terkait satu sama lain sesungguhnya sangat berbeda. Aspek biologis menekankan pada fenomena anatomi dan fisiologis yang terjadi melalui instrument yang terstandar sedangkan aspek sosial lebih menitikberatkan hubungan antara penuaan dengan lingkungan sosiokultural yang tidak secara langsung bisa diukur. Tidak seperti halnya sistem biologis, sistem sosial tidak dibentuk oleh reaksi biologis dan genetik namun, melalui suatu pola kebiasaan yang di dapat dan berkembang dalam interaksi sosial yang meliputi suatu sistem dan nilai-nilai kultural yang membentuk suatu kelompok dan struktur tersebut tidak akan pernah mengalami penuaan dan kematian. Sebuah sistem sosial adalah suatu “cetak biru” dari suatu fungsi interpersonal yang terjadi pada masa lampau, sekarang, dan mungkin bisa diprediksi pada masa akan datang.
            Masalah penuaan secara sosial meliputi beberapa hal diantaranya bertambahnya usia serta transisi dari produktivitas kearah nonproduktivitas beserta kehilangan peranan dan status yang melekat padanya. Peranan dibentuk oleh kapasitas seseorang untuk melakukan fungsi yang diperlukan sedangkan status muncul sebagai evaluasi yang diberikan suatu kelompok terhadap peran yang dilaksanakan. Dalam masyarakat kedua hal ini saling melengkapi satu sama lainnya, sehingga ketika peranan tidak lagi dilaksanakan maka status secara otomatis cenderung akan menurun.
            Sering terjadi diskriminasi pada usia lanjut yang bervariasi mulai dari pembatasan kebiasaan, finansial, penolakan sampai penyiksaan secara fisik. Keadaan sosial ekonomi masih merupakan masalah pada lansia termasuk di Indonesia dimana sebagian besar lansia masih bergantung pada keluarga dan orang lain sehingga lansia yang terlantar terutama di pedesaan masih cukup besar. Beberapa bentuk stigmatisasi atau diskriminasi misalnya dalam interaksi sosial dan interpersonal contohnya (Stuckelgerger, 2007):
a.       Infantilisasi, menganggap dan berbicara dengan orang tua seperti anak kecil
b.      Menilai seseorang dari segi nilai ekonomi semata dengan anggapan usia lanjut tidak memiliki nilai ekonomi yang memadai akibat menurunnya produktivitas
c.       Ketakutan akan kematian dan penyakit sehingga terjadi penolakan akan eksistensinya sendiri.
d.      Menua identik dengan penyakit, ketergantungan dan keterbatasan
e.       Pada usia tua sudah  terlambat untuk melakukan sesuatu
f.       Orang tua tidak bisa belajar sesuatu
g.      Orang tua tidak bisa menjalankan kehidupannya sendiri, tidak produktif dan menjadi beban masyarakat
h.      Rahasia penuaan sepenuhnya ada dalam genetika, tetapi penelitian menunjukkan bahwa pengalaman hidup dan budaya memiliki peranan yang sangat besar.
Hal yang cukup menjadikan proses menua akan memicu gangguan penyesuaian, perilaku bahkan psikologis adalah fakta bahwa tidak jarang adanya penolakan atas peranan dan status seseorang dimana orang yang telah mengalami penuaan masih merasa mampu memberikan kontribusi secara normal, akan tetapi perubahan fisiologis dan anatomis menyebabkan perubahan perubahan dalam peran sosial menjadi tak terhindarkan. Hal ini lebih umum di negara barat, sedangkan di Indonesia keadaan psikososial  umumnya masih lebih baik dimana penghargaan terhadap orang tua dalam kultur ketimuran masih mendapat tempat. Kedudukan dan peranan  lansia dalam keluarga dan masyarakat timur yang umumnya masih dianggap sebagai orang yang harus dihormati dan dihargai menjadikan lansia secara psikologis lebih sehat secara mental. Perasaan diterima oleh orang lain akan mempengaruhi tanggapan mereka dalam memasuki hari tua, dan berpengaruh pula kepada derajat kesehatan lansia. Berbeda halnya jika lansia dianggap sebagai seseorang yang tidak diinginkan dalam masyarakat. Pada masyarakat tradisional yang umumnya terdiri dari keluarga besar dengan adat istiadat yang kuat, memasuki usia lanjut tidak perlu dirisaukan. Anak masih merasa berkewajiban dan mempunyai loyalitas untuk menjaga orang tua yang tidak lagi produktif.
Pergeseran nilai yang terjadi memang tidak bias dipungkiri dimana pada masyarakat modern, keberadaan orang tua dalam keluarga anak dapat menganggu kehidupan ekonomi keluarga anak, kasih sayang yang terbagi, dan mungkin masalah kepengurusan rumah tangga karena turut campurnya orang tua dalam urusan keluarga anak. Kecenderungan masyarakat modern saat ini membentuk keluarga inti membawa masalah terhadap jaminan ekonomi dan kesehatan lansia.
Penelitian Edi Indrizal (2005) mengenai orang lansia di Minangkabau, menunjukkan bahwa dalam tatanan ideal masyarakat matrilineal Minangkabau, hubungan struktur keluarga, ikatan solidaritas sosial, dan tradisi merantau kesemuanya fungsional sebagai jaminan sosial bagi orang lansia sehingga orang lansia tidak boleh hidup tersia-sia di hari tuanya, maka hal itu dapat menjadi aib bagi keluarga, kerabat atau bahkan orang sekitar. Namun dalam kondisi yang berubah dalam masyarakat Minangkabau kotemporer, diantaranya perubahan struktur keluarga luas ke keluarga inti, pola menetap neolokal, membawa konsekuensi perubahan fungsi struktur keluarga dan hubungan sosial dalam masyarakat Minangkabau. Perubahan-perubahan fungsi struktur keluarga membawa implikasi terhadap kehidupan orang lansia. Orang lansia tanpa anak memperoleh masalah tersendiri di dalam masyarakat dan tampaknya masalah sosial lebih dominan dibandingkan masalah menurunnya kondisi fisik akibat usia yang bertambah tua.
Ketidaksiapan dalam menerima perubahan peran dan status merupakan masalah lain dalam diri setiap lansia dan perlu mendapatkan perhatian yang cukup. Beberapa hal yang harus dilakukan dalam menyikapi perubahan peranan dan status ini masih harus memerlukan penelitian berkesinambungan dan harus meliputi:
1.      Memberikan peranan sesuai dengan kemampuan dan mempertimbangkan disabilitas yang ada.
2.      Adanya suatu prosedur berkelompok untuk membantu para lansia dalam proses transisi. Pemahaman yang realistik akan fungsi sosial terhadap peran yang baru harus dibangun, dan para lansia harus memiliki kesempatan untuk mengidentifikasi dirinya dalam peranan ini melalui suatu kontak individu, praktek imajinasi atau drama serta partsipasi nyata.
3.      Hal yang sulit adalah transevaluasi sistem yang ada dalam budaya masing-masing sehingga peran dan status baru yang dimiliki para  lansia biasa tetap dihargai.



G.    Pengobatan
1.                  MedikaMentosa
Terapi obat-obatan diberikan untuk mengatasi faktor penyebab dan mencegah atau memperlambat perkembangan demensia. Pada kasus demensia lanjut, terapi obat-obatan tidak untuk mengobati penyebab melainkan ditujukan untuk meminimalkan gejala psikologis dan gangguan prilaku yang terjadi. Beberapa obat-obatan dapat digolongkan menjadi:
a.              Neurotropika: pyritinol, piracetam, sabeluzole
b.             Ca-antagonis: nimodipine, citicholine, cinnarizine, pentoxiphiline, pantoyl GABA
c.              Acethylcholinesterase inhibitor: tacrine, donopezil, galantamine, rivastigmin, memantine
Obat-obat lain dapat diberikan sesuai dengan gejala akibat gangguan psikologis dan perilaku seperti:
a.       Antipsikotik tipikal: haloperidol
b.      Antipsikotik atipikal: clozapine, risperidone, olanzapine, quetiapine
c.       Anxiolitik: clobazam, lorazepam, buspirone, trazodone dan sebagainya.
d.      Antidepresan: amitriptilin, tofranil, asendin, SSRI.
e.       Mood stabilizer: carbamazepine, divalproex, neurontin dan sebagainya
2.                  Non Medikamentosa
Intervensi nonfarmakologis harus dilakukan secara holistic meliputi lingkungan, psikologis, kemampuan bahasa dan lain-lain. Intervensi psikologis dapat berupa psikoterapi untuk mengurangi kecemasan, memberikan rasa aman dan ketenangan baik dalam bentuk psikoterapi individual, kelompok maupun keluarga. Lingkungan tempat tinggal juga perlu mendapat perhatian agar memberikan cukup kenyamanan serta keamanan bagi penderita.  Warna, bentuk, bahan, fasilitas seyogyanya disesuaikan untuk mendukung program yang akan dilaksankan. Pendekatan lain meliputi adat, budaya, keagamaan, pengembangan kesukaan/ hobi juga biasa dilakukan untuk memaksimalkan potensi yang ada pada penderita sekaligus memberikan keselarasan dengan sisitem sosial yang ada. Untuk caregiver diperlukan dukungan mental, pengembangan kemampuan adaptasi, peningkatan kemandirian dan kemampuan  menerima kenyataan.
Meskipun seorang individu dengan demensia harus selalu berada di bawah perawatan medis, anggota keluarga idealnya menangani sebagian besar perawatan sehari-hari. Perawatan medis harus fokus pada mengoptimalkan kesehatan individu dan kualitas hidup sementara anggota keluarga membantu mengatasi dengan banyak tantangan untuk merawat anggota keluarga dengan demensia. Perawatan medis tergantung pada kondisi yang mendasari, tapi paling sering terdiri dari obat-obatan dan perawatan nonmedikamentosa seperti terapi perilaku. Penghilangan stigma dan diskriminasi secara sosial terutama pada daerah-daerah yang lebih cenderung materialistik menjadi penting untuk memberikan kenyamanan secara psikologis bagi lansia. International Labour Organization serta WHO menganjurkan pemerintah untuk memasukkan beberapa prinsip dalam program nasional, diantaranya:
A.    Kebebasan
1.      Para lansia harus mendapatkan akses yang baik terhadap makanan, air, perlindungan, pakaian, serta kesehatan melalui ketersediaan pendapatan, dukungan keluarga dan masyarakat serta kemandirian.
2.      Para lansia harus memiliki kesempatan untuk bekerja atau memiliki akses pada kesempatan yang memungkinkan mereka mendapatkan sumber pendapatan
3.      Lansia harus dapat berpartisipasi dalam memutuskan kapan dan bagaimana akan meninggalkan pekerjaannya
4.      Para lansia harus mendapatkan akses untuk pendidikan dan program-program pelatihan
5.      Para lansia harus mendapatkan kesempatan untuk hidup dalam lingkungan yang aman dan bisa menyesuaikan dengan perubahan kapasitasnya
6.      Lansia harus bisa tetap tinggal dirumah selama mungkin

B.     Partisipasi
1.      Para lansia harus tetap tergabung dalam masyarakat, berpartisipasi secara aktif dalam formulasi dan implementasi kebijaksanaan yang secara langsung mempengaruhi kesejahteraannya dan membagikan pengetahuan dan ketrampilan mereka dengan generasi berikutnya.
2.      Lansia harus mampu mencari dan mencari kesempatan untuk melayani masyarakat sebagai sukarelawan sesuai dengan kemampuannya.
3.      Para lansia harus selalu dalam kerjasama dengan lansia lainnya.


C.     Perhatian
1.      Para lansia harus mendapatlkan keuntungan dari keluarga dan masyarakat serta pelindungan selaras dengan setiap sistem sosial dari nilai-nilai budaya.
2.      Para lansia harus memiliki akses pada pelayanan kesehatan untuk membantu mereka menjaga atau mengembalikan tingkat kesejahteraan fisik, mental, dan emosional serta untuk mencegah keterlambatan penyakit.
3.      Lansia harus memiliki akses pada pelayanan sosial dan hukum untuk meningkatkan otonomi, perlindungan dan perhatian.
4.      Lansia harus mampu menggunakan ketersediaan institusi perlindungannya dengan baik untuk memberikan perlindungan, rehabilitasi, stimulasi sosial dan mental dalam lingkungan yang aman.
5.      Lansia harus mampu menikmati hak asasi manusia dan kebebasan ketika tinggal di tempat manapun, fasilitas pengobatan, termasuk penghormatan akan martabatnya, keyakinan, kebutuhan, dan privasi serta hak untuk membuat keputusan untuk kehidupan dan kualitas hidupnya.
D.    Pemenuhan diri
1.      Lansia harus mampu mencari kesempatan untuk pembangunan sepenuhnya potensi diri mereka.
2.      Lansia harus memiliki akses akan sumber pendidikan, budaya, spiritual, dan rekreasional di masyarakat.
E.     Martabat
1.      Lansia harus mampu hidup dalam lingkungan yang aman dan bermartabat dan bebas dari eksploitasi fisik maupun mental.
2.      Lansia harus diperlakukan dengan baik tanpa melihat umur, jenis kelamin, ras atau latar belakang etnik, disabilitas atau status yang lain dan di hargai secara bebas akan kontribusi ekonomis mereka.
3.      Para lansia yang mengalami demensia selayaknya mendapat penghargaan yang baik tanpa memandang usia serta sejauh mana gangguan yang ada dan bahwasanya setiap orang adalah unik, memiliki kepribadian tersendiri sehingga pendekatan masing-masing haruslah disesuaikan. Beberapa kunci pokok dalam penanganan secara holistik yang dapat dilaksanakan antara lain (NICE, 2004):

a.       Tanpa diskriminasi
Para penderita demensia tidak boleh dikecualikan dari semua pelayanan semata-mata karena diagnosis, usia atau gangguan yang ada.
b.      Penjelasan yang tepat
Para penyedia layanan kesehatan harus selalu memberikan penjelasan dengn baik kepada para penderita. Mereka harus mendapatkan informasi dengan baik, dipastikan bahwa mereka dapat mengerti dan apabila terdapat gangguan dalam pemahaman maka bias menggunakan alat bantu Mental Capacity Act 2005.
c.       Carers/ penjaga yang membantu dalam kegiatan sehari hari
Para penyedia layanan kesehatan harus dipastikan mendapatkan hak untuk mendapatkan penilaian atas apa yang dibutuhkan dan apabila mengalami stress psikologis, mereka harus mendapatkan terapi psikologi termasuk cognitive behavioural therapy dari ahlinya.
d.      Koordinasi dan integrasi layanan kesehatan dan sosial
Penyedia layanan keehatan dan sosial harus berkoordinasi dalam bekerja melalui suatu prosedur tertulis. Rencana dan strategi harus memasukkan sistem lokal serta pendekatan budaya lokal yang bersifat spesifik mengingat kultur, penilaian, penghargaan serta peranan setiap lansia dalam masyarakat tidaklah sama dalam setiap system budaya.
e.       Penilaian memori
Penilaian memori harus dilakukan dan merupakan titik dimana rujukan dan penanganan yang komperhensif harus dilakukan pada seseorang yang dicurigai menderita demensia.
f.       Alat bantu diagnosis
selain alat bantu terstandar untuk menilai status kognitif, alat bantu untuk menilai gangguan struktur lain terutama pada otak juga harus ada.
g.      Gangguan perilaku
Faktor pencetus terjadinya gangguan prilaku harus diidentifikasi dan penanganan harus disesuaikan. Terapi kognitif dan perilaku bisa diberikan dengan pendekatan individu bersamaan dengan terapi medikamentosa.
h.      Pelatihan
Para penyedia layanan harus dipastikan mendapat pelatihan yang sesuai sesuai dengan peranan dan tangung jawab masing-masing.
i.        Kebutuhan kesehatan mental pada kondisi “acute hospitals”
Dalam keadaan tertentu dimana diperlukan penanganan perawatan rumah sakit, fasilitas untuk itu harus tersedia sesuai dengan kebutuhan medis, sosial dan mental penderita.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Penatalaksanaan demensia pada usia lanjut harus meliputi beberapa komponen baik medikamentosa dan nonmedikamentosa dan dilakukan secara holistik, saling terkait, sistematis dan melibatkan banyak pihak. Pendekatan budaya lokal harus dilakukan dan penderita harus diperlakukan secara individual sesuai dengan kapasitas, kondisi, penyakit komorbid, kebiasaan serta gangguan yang ada untuk memaksimalkan pelayanan yang diberikan. Konsep biopsikososiospiritual harus diterapkan secara integratif karena keseluruhan aspek merupakan faktor yang sangat terkait dan mempengaruhi satu sama lain.
B.  Saran
Kepada seluruh individu diharapkan dapat menjaga gaya hidupnya kearah yang positif, hal ini dikarenakan agar dapat mencegah penyakit demensia ini menyerang kehidupan kita dimasa tua. Ya walaupun sebenarnya demensia ini adalah proses yang wajar, namun jika kita dapat mencegahnya dari masa muda insyaallah akan terminimalisir.



Daftar Pustaka
( Jum’at 10 April 2015 pkl 14.30 WIB )